‘Saya tidak Agamis dan tak Pernah Menyangka Menjadi Religius’

Leave a comment

Keingintahuan besar John Clenn Howell terhadap Islam terus mengusiknya. Ia tak sekedar bertanya tapi juga mengamati mereka. “Terlihat gamblang bagi saya bahwa ada yang salah dengan cara masyarakat memandang Muslim secara keseluruhan,” tuturnya.

Hanya dengan obeservasi sederhana pria kelahiran 17 Oktober 1973 silam ini cukup yakin untuk menyimpulkan bahwa mayoritas besar Muslim adalah normal. Malah, ia menilai mereka sama sekali jauh dari potret fanatik haus darah yang kerap dimunculkan di televisi.

Mengingat dalam Muslim ada pula individu yang menyimpang, maka, ia berpikir Islam pun  bukan ajaran sesat. “Sama dengan Nasrani yang juga tidak terkait dengan ulah orang-orang semacam Timothy McVeigh, David Koresh dan Jim Jones,”

Rasa penasaran Howell berlanjut. Ia pun mulai membaca Al Qur’an dan diluar dugaan, banyak isi dalam kitab suci itu yang akrab baginya. “Ini sangat mengejutkan. Pasalnya ketika saya membuka Al Qur’an saya tidak berharap menemukan sesuatu yang saya kenali,” tuturnya.

Islam, menurut Howell, sangat berbeda dengan yang ia sangkakan. “Saya langsung memahami dan sepakat dengan pilar utama yang merupakan pengakuan bahwa tidak ada sesuatu yang layak disembah selain Tuhan.

“Tiba-tiba saya meyakini semua penjelsan tentang Tuhan yang saya temukan di Al Qur’an. Di antara semua penjelasan yang paling mempengaruhi saya adalah kalimat dalam Surah Al Ikhlas,” tuturnya.

Ia juga mengetahui bahwa Allah, dalam nama Arab adalah Tuhan yang sama yang diserukan para Nabi untuk disembah, Tuhannya Ibrahim, Musa, Jesus dan Muhammad saw. “Informasi yang mengungkap kebenaran Allah, ditambah dengan sebuah pernyataan dari Kitab-Nya memberi cukup alasan bagi saya untuk bertindak.

Pernyataan itu adalah, “Dan tidaklah Aku ciptakan Jin dan manusia kecuali untuk beribabah kepada Ku (Adh-Dhariyat 51:56)

Howel meyakini Islam adalah agama asli, mutlak, murni monoteisme dan menolak total bentuk-bentuk politeisme atau menyembah berhala atau dewa. “Sangat jelas sangat jelas bagi saya bahwa ini adalah satu-satunya jalan hidup sempurna bagi setiap manusia yang bebas dari unsur ras dan ideologi. Pencarian saya terhadap Kebenaran Universal menuntun saya kepada Islam,”

Pada 1999 ia mengambil keputusan besar. Ia memeluk Islam kala berusia 26 tahun. “Itu mengubah  hidup saya keseluruhan dan saya mulai mempraktekkan ajaran Islam langkah demi selangkah, sedikit demi sedikit,”

Awalnya ia tidak memberitahukan hal itu kepada teman-teman dekatnya karena takut menghadapi penolakan dan ejekan. Toh, akhirnya mereka mengetahui ketika ia mulai mengenakan baju-baju Muslim dan mulai menolak melakukan perbuatan buruk.

“Terus terang, saya terasing dari banyak orang. Saya biasa pergi dengan mereka, dan perubahan ini membuat saya berjarak dengan teman-teman,” ujarnya.

Beberapa teman masih berhubungan–namun dengan sikap hati-hati. “Akhirnya setelah bertahun-tahun mereka yang benar-benar dekat tahu bahwa saya masih seperti  Howell yang dulu, akhirnya mereka menghormati keputusan saya apa adanya,” tutur Howell kepada Republika.co.id lewat surat elektroniknya pekan lalu.

“Saya memutus hubungan dengan masa lalu dan saya tidak lagi menoleh kebelakang. Saya berupaya sangat keras membersihkan diri,” tuturnya. Howel mengakui itu adalah hal terberat baginya.

“Saya akui, gaya hidup sebelum masuk Islam bisa membunuh saya bila terus saya lanjutkan. Saya banyak bereksperimen dengan hal berbahaya, termasuk menggunakan obat dan narkotika ketika mencoba meluaskan kesadaran untuk mencari kebenaran,” tutur Howell dalam suratnya.

Ia mengaku bukan orang yang religius. “Saya sendiri tidak pernah membayangkan diri saya bisa menjadi religius,” imbuhnya.

Saat ini, menurut Howell, kesulitan paling nyata setelah memeluk Islam ialah berjuang mengatasi dirinya sendiri. “Butuh perjuangan mengubah kehidupan agar sejalan dengan Islam, terutama di negara non-Muslim dengan orang-orang yang jahil, tak peduli dan salah memahami Islam,” ujarnya.

“Tapi bila anda bertanya kepada saya sepuluh tahun lalu, saya tak bisa berujar seperti ini,” kata Howell. “Semua berubah menjadi lebih baik dari yang saya harapkan dan itu tidak lain karena Allah yang telah memandu saya. Saya sungguh bersyukur.”

“Semua orang sama dan sederajat seperti gigi-gigi sisir,” ujarnya membuat analogi. “Semua adalah anak cucu Adam dan diciptakan dari tanah. Tak ada yang superior, tak berlaku pada Arab dibanding non-Arab atau kulit putih terhadap kulit hitam, kecuali ketakwaan mereka,” tegasnya.

 

Sumber: http://www.republika.co.id

Alhamdulillah! Satu keluarga di Cina Memeluk Islam

Leave a comment

Seorang perempuan Cina dan empat anaknya memeluk Islam sebagai sebuah jalan hidupnya yang baru. Perayaan memeluk Islam dilakukan oleh Departemen Dakwah Tutong di Kampung Keriam, di Distrik Tutong.

Tamu kehormatan dalam acara tersebut adalah Haji Harun bin Haji Junid yang merupakan Wakil Sekretaris Tetap di Kementerian Agama Cina.  Acara dimulai dengan pembacaan surat Al Fatihah yang kemudian diikuti dengan upacara memeluk Islam.

Yong Siow Mee, membacakan doa dengan dibimbing staf dari Kementerian Agama Cina dan kemudian memilih nama Muslim barunya sebagai Nur Ameerah Raziqin binti Abdullah Yong. Sementara empat anak-anaknya yang juga berganti nama Nurhafizah binti Bakar, Nurshahnizam bin Bakar, Nurhalizam bin Bakar dan Nurazlizam bin Bakar, tak lupa berdoa dan memilih nama mereka sendiri Muslim.

Acara ini juga memperlihatkan penampilan Dzikir Marhaban yang dibawakan anggota Asosiasi PESATU yang diikuti dengan percikan bunga yang wangi kepada Yong Siow Mee dan keempat anaknya oleh tamu kehormatan. Doa selamat dibacakan oleh Imam Haji Abd Aziz bin Badul. Pejabat dan staf Pusat Dakwah Islam dan penduduk desa setempat juga ikut hadir.

 

Sumber: http://www.republika.co.id

‘Kalah’ Melawan Alquran, Dr Jeffrey Lang Menerima Islam

Leave a comment

Sejak kecil Dr Jeffrey Lang dikenal ingin tahu. Ia kerap mempertanyakan logika sesuatu dan mengkaji apa pun berdasarkan perspektif rasional. “Ayah, surga itu ada?” tanya Jeffrey kecil suatu kali kepada ayahnya tentang keberadaan surga, saat keduanya berjalan bersama anjing peliharaan mereka di pantai. Bukan suatu kejutan jika kelak Jeffrey Lang menjadi profesor matematika, sebuah wilayah dimana tak ada tempat selain logika.

Saat menjadi siswa tahun terakhir di Notre Dam Boys High, sebuah SMA Katholik, Jeffrey Lang memiliki keberatan rasional terhadap keyakinan akan keberadaan Tuhan. Diskusi dengan pendeta sekolah, orangtuanya, dan rekan sekelasnya tak juga bisa memuaskannya tentang keberadaan Tuhan. “Tuhan akan membuatmu tertunduk, Jeffrey!” kata ayahnya ketika ia membantah keberadaan Tuhan di usia 18 tahun.

Ia akhirnya memutuskan menjadi atheis pada usia 18 tahun, yang berlangsung selama 10 tahun ke depan selama menjalani kuliah S1, S2, dan S3, hingga akhirnya memeluk Islam.

Adalah beberapa saat sebelum atau sesudah memutuskan menjadi atheis, Jeffrey Lang mengalami sebuah mimpi. Berikut penuturan Jeffrey Lang tentang mimpinya itu:

Kami berada dalam sebuah ruangan tanpa perabotan. Tak ada apa pun di tembok ruangan itu yang berwarna putih agak abu-abu.

Satu-satunya ‘hiasan’ adalah karpet berpola dominan merah-putih yang menutupi lantai. Ada sebuah jendela kecil, seperti jendela ruang bawah tanah, yang terletak di atas dan menghadap ke kami. Cahaya terang mengisi ruangan melalui jendela itu.

Kami membentuk deretan. Saya berada di deret ketiga. Semuanya pria, tak ada wanita, dan kami semua duduk di lantai di atas tumit kami, menghadap arah jendela.

Terasa asing. Saya tak mengenal seorang pun. Mungkin, saya berada di Negara lain. Kami menunduk serentak, muka kami menghadap lantai. Semuanya tenang dan hening, bagaikan semua suara dimatikan. Kami serentak kami kembali duduk di atas tumit kami. Saat saya melihat ke depan, saya sadar kami dipimpin oleh seseorang di depan yang berada di sisi kiri saya, di tengah kami, di bawah jendela. Ia berdiri sendiri. Saya hanya bisa melihat singkat punggungnya. Ia memakai jubah putih panjang. Ia mengenakan selendang putih di kepalanya, dengan desain merah. Saat itulah saya terbangun.

Sepanjang sepuluh tahun menjadi atheis, Jeffrey Lang beberapa kali mengalami mimpi yang sama. Bagaimanapun, ia tak terganggu dengan mimpi itu. Ia hanya merasa nyaman saat terbangun. Sebuah perasaan nyaman yang aneh. Ia tak tahu apa itu. Tak ada logika di balik itu, dan karenanya ia tak peduli kendati mimpi itu berulang.

Sepuluh tahun kemudian, saat pertama kali memberi kuliah di University of San Fransisco, dia bertemu murid Muslim yang mengikuti kelasnya. Tak hanya dengan sang murid, Jeffrey pun tak lama kemudian menjalin persahabatan dengan keluarga sang murid. Agama bukan menjadi topik bahasan saat Jeffrey menghabiskan waktu dengan keluarga sang murid. Hingga setelah beberapa waktu salah satu anggota keluarga sang murid memberikan Alquran kepada Jeffrey.

Kendati tak sedang berniat mengetahui Islam, Jeffrey mulai membuka-buka Alquran dan membacanya. Saat itu kepalanya dipenuhi berbagai prasangka.

“Anda tak bisa hanya membaca Alquran, tidak bisa jika Anda tidak menganggapnya serius. Anda harus, pertama, memang benar-benar telah menyerah kepada Alquran, atau kedua, ‘menantangnya’,” ungkap Jeffrey.

Ia kemudian mendapati dirinya berada di tengah-tengah pergulatan yang sangat menarik. “Ia (Alquran) ‘menyerang’ Anda, secara langsung, personal. Ia (Alquran) mendebat, mengkritik, membuat (Anda) malu, dan menantang. Sejak awal ia (Alquran) menorehkan garis perang, dan saya berada di wilayah yang berseberangan.”

“Saya menderita kekalahan parah (dalam pergulatan). Dari situ menjadi jelas bahwa Sang Penulis (Alquran) mengetahui saya lebih baik ketimbang diri saya sendiri,” kata Jeffrey. Ia mengatakan seakan Sang Penulis membaca pikirannya. Setiap malam ia menyiapkan sejumlah pertanyaan dan keberatan, namun selalu mendapati jawabannya pada bacaan berikutnya, seiring ia membaca halaman demi halaman Alquran secara berurutan.

“Alquran selalu jauh di depan pemikiran saya. Ia menghapus aral yang telah saya bangun bertahun-tahun lalu dan menjawab pertanyaan saya.” Jeffrey mencoba melawan dengan keras dengan keberatan dan pertanyaan, namun semakin jelas ia kalah dalam pergulatan. “Saya dituntun ke sudut di mana tak ada lain selain satu pilihan.”

Saat itu awal 1980-an dan tak banyak Muslim di kampusnya, University of San Fransisco. Jeffrey mendapati sebuah ruangan kecil di basement sebuah gereja di mana sejumlah mahasiswa Muslim melakukan sholat. Usai pergulatan panjang di benaknya, ia memberanikan diri untuk mengunjungi tempat itu.

Beberapa jam mengunjungi di tempat itu, ia mendapati dirinya mengucap syahadat. Usai syahadat, waktu shalat dzuhur tiba dan ia pun diundang untuk berpartisipasi. Ia berdiri dalam deretan dengan para mahasiswa lainnya, dipimpin imam yang bernama Ghassan. Jeffrey mulai mengikuti mereka shalat berjamaah.

Jeffrey ikut bersujud. Kepalanya menempel di karpet merah-putih. Suasananya tenang dan hening, bagaikan semua suara dimatikan. Ia lalu kembali duduk di antara dua sujud.

“Saat saya melihat ke depan, saya bisa melihat Ghassan, di sisi kiri saya, di tengah-tengah, di bawah jendela yang menerangi ruangan dengan cahaya. Dia sendirian, tanpa barisan. Dia mengenakan jubah putih panjang. Selendang (scarf) putih menutupi kepalanya, dengan desain merah.”

“Mimpi itu! Saya berteriak dalam hati. Mimpi itu, persis! Saya telah benar-benar melupakannya, dan sekarang saya tertegun dan takut. Apakah ini mimpi? Apakah saya akan terbangun? Saya mencoba fokus apa yang terjadi untuk memastikan apakah saya tidur. Rasa dingin mengalir cepat ke seluruh tubuh saya. Ya Tuhan, ini nyata! Lalu rasa dingin itu hilang, berganti rasa hangat yang berasal dari dalam. Air mata saya bercucuran.”

Ucapan ayahnya sepuluh tahun silam terbukti. Ia kini berlutut, dan wajahnya menempel di lantai. Bagian tertinggi otaknya yang selama ini berisi seluruh pengetahuan dan intelektualitasnya kini berada di titik terendah, dalam sebuah penyerahan total kepada Allah SWT.

Jeffrey Lang merasa Tuhan sendiri yang menuntunnya kepada Islam. “Saya tahu Tuhan itu selalu dekat, mengarahkan hidup saya, menciptakan lingkungan dan kesempatan untuk memilih, namun tetap meninggalkan pilihan krusial kepada saya,” ujar Jeffrey kini.

Jeffrey kini professor jurusan matematika University of Kansas dan memiliki tiga anak. Ia menulis tiga buku yang banyak dibaca oleh Muslim AS:  Struggling to Surrender (Beltsville, 1994); Even Angels Ask (Beltsville, 1997); dan Losing My Religion: A Call for Help (Beltsville, 2004). Ia memberi kuliah di banyak kampus dan menjadi pembicara di banyak konferensi Islam.

Ia memiliki tiga anak, dan bukan sebuah kejutan anaknya memiliki rasa keingintahuan yang sama. Jeffrey kini harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang sama yang dulu ia lontarkan kepada ayahnya. Suatu hari ia ditanya oleh anak perempuannya yang berusia delapan tahun, Jameelah, usai mereka shalat Ashar berjamaah. “Ayah, mengapa kita shalat?”

“Pertanyaannya mengejutkan saya. Tak sangka berasal dari anak usia delapan tahun. Saya tahu memang jawaban yang paling jelas, bahwa Muslim diwajibkan shalat. Tapi, saya tak ingin membuang kesempatan untuk berbagi pengalaman dan keuntungan dari shalat. Bagaimana pun, usai menyusun jawaban di kepala, saya memulai dengan, ‘Kita shalat karena Tuhan ingin kita melakukannya’,”

“Tapi kenapa, ayah, apa akibat dari shalat?” Jameela kembali bertanya. “Sulit menjelaskan kepada anak kecil, sayang. Suatu hari, jika kamu melakukan shalat lima waktu tiap hari, saya yakin kami akan mengerti, namun ayah akan coba yang terbaik untuk menjawan pertanyaan kamu.”

 

Sumber: http://www.republika.co.id

Melihat Buruknya Perlakuan terhadap Muslim, Jennifer Tertarik pada Islam

Leave a comment

Jennifer Fayed merasakan perkawinannya suram. Ia melihat tak ada ambisi pada suaminya yang pengangguran, yang telah dinikahinya tiga tahun. Ia mendapati dirinya hamil, sementara dua anaknya yang masih kecil belum bisa lepas dari pengawasan.

Jennifer, yang berusia 21 tahun dan masih kuliah, mulai merenungi tujuan hidupnya di dunia. Pikiran itu menggantung di benaknya: “Pasti ada alasan atas keberadaan saya.”

Orang tuanya baru saja pindah ke Republik Dominika, sebuah negara kecil di Karibia. Ia merasa ditinggalkan, kendati punya suami dan dua orang anak. Ini lantaran selama ini ia merasa orang tua lah yang menjadi panutan baginya, yang menjadi dasar bagi siapa dirinya dan akan menjadi siapa ia berjuang.

Kala itu ia sedang tertidur saat mendapat telepon panik dari ibu mertuanya yang berteriak “Ada pesawat jatuh, pesawat jatuh di Manhattan.” Jennifer bertanya bingung, “Apa, apa yang Ibu bicarakan!” Ia menyalakan televisi dan melihat menara kedua World Trade Center (WTC) dihantam pesawat.

“Saya shock! Siapa yang bisa melakukannya, siapa yang sanggup melakukan kekejian ini?” ujar Jennifer. Ia tak percaya apa yang dilihatnya. “Apakah ini mimpi?” Ia berharap ini hanyalah sebuah film. “Ayo katakana ini hanya film,” katanya dalam hati.

Ia baru saja mengunjungi WTC sehari sebelumnya. Ia melihat ini sebagai bukti bahwa belum saatnya dia mati. Ia merasa belum mencapai tujuan dalam hidup. “Saya tak tahu apa tujuan itu, tapi ini bukanlah saatnya bagi saya.”

Hari itu Manhattan dilanda chaos. Jennifer tak tahu hari itu menjadi awal perubahan drastis yang akan terjadi dalam hidupnya.

Tak beberapa lama setelah serangan 11 September, Jennifer terbang mengunjungi orang tuanya di Republik Dominika. Saat itu kehamilannya berusia satu bulan. Suaminya telah mengetahui kehamilannya.

Ia berpikir bagaimana memberi tahu kehamilan ini kepada orang tuanya. Maklum, anak pertamanya adalah hasil hubungan di luar nikah, yang membuatnya terpaksa menikah guna menutupi aib. Well, katanya dalam hati, saya akan memikirkannya di Karibia nanti.

Ia terbang menggunakan American Airlines dengan nomor penerbangan 587. Ia merasa begitu cepat terbang setelah serangan WTC. Keamanan di bandara sangat ketat, dan orang-orang di pesawat  berdoa, beberapa bahkan tak lepas berdoa sepanjang penerbangan. “Saya mulai tertawa dalam hati. Jika kami akan mati, maka itu takdir kami.”

Jennifer terus memikirkan kehamilannya. Ia sebenarnya tak ingin kehamilan ini. Selain tak direncanakan, ini berarti mulut ketiga untuk diberi makan, sementara ia sudah kewalahan menghidupi dua orang anak, apalagi tiga.

Ia begitu bingung. Ia menghabiskan waktu bersama orangtuanya mencoba memberitahu mereka tentang jabang bayi. Ia merasa tak sanggup memberi tahu mereka, bahwa putri tertua mereka kembali mengecewakan mereka.

Karenanya, Jennifer memutuskan untuk aborsi dan tak ada yang perlu tahu dirinya hamil. “Solusi yang gampang,” pikirnya dalam hati. Namun, di sisi lain, ia berasal dari keluarga Kristen yang taat, yang memandang aborsi adalah sesuatu yang tabu dan dosa.

Ia kembali ke New York dari Karibia, dan membuat janjian dengan klinik Planned Parenthood untuk mulai melakukan aborsi. Ia bertanya apakah bisa menggunakan pil untuk aborsi ini.

Betapa kecewanya Jennifer bahwa dirinya harus menjalani aborsi penuh karena tenggat untuk melakukan aborsi dengan pil sudah terlewati satu pekan. Ia sangat depresi. “Saya berkata dalam hati, Oh Tuhan, mereka akan mengangkat bayi ini dari perut saya. Apa yang telah saya lakukan?” Ia tak tahu apakah sanggup melalui ini semua.

Ia memutuskan untuk berdoa kepada Tuhan. Namun, tidak menggunakan Rosario atau pergi ke gereja. Untuk pertama kali, ia akan berdoa langsung kepada Tuhan layaknya teman. Ia merasa Tuhan harus menolongnya. Tuhan adalah tumpuan terakhir.

“Saya menangis sambil terus memohon. Oh Tuhan tolonglah, saya tak tahu apa yang harus dilakukan. Saya ingin bayi ini, tapi pernikahan saya sedang guncang, dan kami tak punya uang untuk menghadirkan seorang bayi lagi ke dunia ini. Saya percayakan sepenuhnya kepada Tuhan. Tolonglah, jika Tuhan menghendaki saya memiliki bayi ini, saya akan menerimanya. Dan, jika kehendak Tuhan untuk mengakhiri kehamilan ini, saya juga akan menerimanya.”

“Saya memasrahkan penderitaan ini kepada Tuhan. Tuhan yang saya sembah dengan cara saya sendiri, bukan dengan cara yang diajarkan kepada saya. Tuhan, yang bagi saya tak punya pendamping, tak punya anak, hanya sesuatu yang saya tahu telah menciptakan saya,” kata Jennifer. Ia kehabisan akal memikirkan kehamilannya.

Hari-hari berlalu, Jennifer sedang menyaksikan televisi saat sebuah siaran berita menginterupsi acara. “Oh tidak. Tidak serangan teroris lagi,” katanya. Sebuah pesawat kembali jatuh di New York, kali ini di kawasan Queen, daerah asal Jennifer. Ia khawatir ini kembali ulah teroris. Ia terheran-heran mendengar nomor penerbangan dan tujuan pesawaat tersebut. Pesawat naas itu American Airlines dengan nomor penerbangan 587 tujuan Republik Dominika. Ya, pesawat yang ditumpanginya sepekan lalu. Rasa dingin menjalar di punggungnya.

Jennifer terpaku. Ia membayangkan bisa saja dirinya yang ada dalam pesawat itu. Ia merasa ini pertanda dari Tuhan. Ini bukan pertama kali dalam kurang dari sebulan ia begitu dekat dengan kematian. “Tuhan mencoba mengatakan sesuatu.”

Sepekan setelah permohonannya kepada Tuhan, Jennifer mulai merasakan keram. Keram ini berbeda dengan yang biasa dirasakan pada trimester pertama kehamilan. Ia mengacuhkannya, bukan masalah besar.

Hari berlalu, rasa keram itu semakin parah, dan perdarahan pun mulai terjadi. Ia begitu takut. “Apakah saya keguguran?” Ia bergegas ke rumah sakit dan menjalani istirahat (bed rest) ketat.

Pulang ke rumah, Jennifer masih harus beristirahat di tempat tidur kendati rasa keram mulai berkurang. Saat tertidur, ia merasakan sakit luar biasa. Ia merasakan sesuatu keluar. “Saya tak tahu apa yang harus dilakukan. Saya pergi ke kamar mandi dan menemukan segumpal daging keluar.” Jennifer keguguran di usia kehamilan dua bulan. Saat kembali ke rumah sakit, pihak rumah sakit memastikan ia telah keguguran. Padahal, keesokan harinya, ia dijadwalkan oleh Planned Parenthood untuk menjalani proses aborsi, pada 15 Oktober 2001.

“Ini seakan tidak nyata. Apakah ini keajaiban dari Tuhan? Apakah Tuhan menjawab doa saya. Saya merasa Tuhan memberitahu bahwa kehidupan saya akan berubah. Akan berubah seperti apa? Saya tak tahu. Yang saya tahu, saya harus menyelesaikan kuliah dan saya tidak bisa bertahan lebih lama dengan suami yang tak ingin kerja dan tak punya ambisi dalam hidup.” Jennifer akhirnya memutuskan untuk bercerai dari suami pertamanya.

Di lingkungannya, New York, Jennifer menyaksikan betapa buruknya perlakuan terhadap Muslim. Perlakuan ini terjadi begitu cepat setelah serangan 11 September. Setiap hari selalu ada berita yang melaporkan tentang kejahatan karena kebencian terhadap Muslim. “Sungguh mengerikan. Saya menyaksikan langsung orang-orang pindah berjalan di trotoar seberang jalan hanya karena mengira ada Muslim. Bisnis Muslim sepi. Tak ada yang ingin membeli dari toko Muslim. Di jalan, orang-orang berteriak kepada Muslim, Pergi ke negaramu, Teroris, Taliban!!”

“Mengapa orang-orang mengatakan kata-kata ini kepada orang-orang yang tak bersalah? Saya sepakat pelaku serangan adalah orang yang kejam, tapi kenapa menyalahkan orang-orang yang tak ada hubungannya dengan serangan?”

Dari sinilah muncul ketertarikannya. Jennifer mulai penasaran apa yang diyakini oleh Muslim. Ketertarikannya semakin besar setiap hari. Ia kemudian mendaftar untuk mengikuti sebuah acara di kampus. Di sana ia bertemu Muslim dan melontarkan berbagai pertanyaan tentang Islam. “Mengapa Anda mengenakan jilbab? Siapa yang Anda yakini? Siapa itu Muhammad yang sering Anda bicarakan?”

“Beberapa orang punya jawaban, namun sebagian besar tak tahu bagaimana menjawab pertanyaan  saya. Kebanyakan wanita Muslim yang saya tahu tak mengenakan jilbab dan mengatakan ini pilihan, dan mengatakan tak memiliki pengetahuan yang dalam tentang Islam.” Jennifer merasa tak ada orang yang mampu memberikannya jawaban. Sehingga, ia berpaling ke internet untuk mencari jawaban. Di sana lah ia mengetahui tentang Islam.

“Saya tak percaya bahwa Tuhan telah mengutus nabi lainnya setelah Yesus. Saya tahu Tuhan tak akan menciptakan saya dan semua orang di dunia tanpa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kami. Mengapa kami di sini? Mengapa orang-orang selalu mengatakan Tuhan itu tritunggal, dan ini hanya menguatkan apa yang saya percayai sejak berusia 14 tahun bahwa Tuhan itu satu tanpa pendamping.”

“Saya mencari kebenaran atas semua pertanyaan saya dan Islam menjawab semuanya. Muhammad adalah nabi yang luar biasa. Ia adalah nabi terakhir, yang terakhir diutus Tuhan untuk menyampaikan pesan terakhir-Nya kepada kita.”

Jennifer memutuskan untuk menggali lebih jauh tentang Nabi Muhammad. “Apakah ia manusia sungguhan? Apakah dia benar-benar ada?” Jennifer terkejut mengetahui Nabi Muhammad adalah manusia sungguhan. Bukan saja Muhammad adalah seorang nabi yang menyampaikan wahyu, namun seluruh hidupnya telah terdokumentasikan. “Saya takjub, inilah agama saya,” pikirnya. “Keyakinan yang selama bertahun-tahun saya cari, yang disebut Islam,” katanya.

Jennifer mengikuti tarawih Ramadhan pada musim gugur 2002, meski ia belum masuk Islam. Saat itu masjid penuh oleh jamaah. “Tak seperti keuskupan yang hanya dihadiri satu  jenis ras atau kebangsaan di sebuah gereja khusus, masjid dipenuhi berbagai orang dari berbagai spektrum. Mereka sangat akrab dan selalu mengatakan Assalamualaikum,” ia mengisahkan. Ia tak tahu apa artinya itu. Ia hanya mengangguk malu.

“Saatnya melaksanakan sholat. Ini sholat pertama saya seperti seorang Muslim,” katanya. Ia sebenarnya tak tahu apa mereka lakukan. Namun, seorang temannya mengatakan ‘ikuti saja apa yang mereka lakukan’. Jadi, itulah yang ia lakukan.

Jennifer berkomat-kamit meniru jamaah lainnya. Ia juga ikut bersujud, tanpa tahu maksud dan alasannya. “Saya menikmatinya. Saya kagum bahwa semua Muslim menghadap Kabah di saat yang sama setiap shalat, tak peduli dari belahan bumi mana mereka berasal. Kami tak punya ini di Kristen, sama sekali tak punya,” paparnya.

Saat itu ia mengenakan jilbab untuk menghormati para jamaah. Ia tak tahu bagaimana cara mengenakan jilbab. Jadi, ia membeli dua helai selendang (scarf) yang ia pasang sekenanya. “Saya merasa anggun dan hangat saat mengenakan jilbab. Saya bisa berjalan di jalanan tanpa dipandang sebagai obyek seksual. Orang-orang memang menatap saya, tapi saya tak peduli.”

Pulang dari masjid pada hari itu, ia bertekad untuk mengenakan jilbab setiap saat. “Orang-orang terus mengatakan bahwa saya tak perlu mengenakan jilbab karena saya bukan seorang Muslim. Saya hanya berkomentar ini keputusan saya dan ini bukan urusan  mereka. Saat mengenakan jilbab, ada perasaan aman, perasaan hangat dalam hati, bahwa saya mengikuti perintah Tuhan. Saya tak peduli terhadap tatapan dan komentar negatif dari orang-orang.”

Jennifer merasa belum melakukan cukup. Ia pun melakukan puasa dalam beberapa hari di bulan Ramadhan. Lalu, ia berpikir bagaimana mengatakan ini semua kepada orang tuanya.

Saat orang tuanya datang dari Republik Dominika, Jennifer tengah serius mempertimbangkan untuk mengucap syahadat. “Hanya saja, saya tak tahu bagaimana memberi tahu keluarga saya, terutama ibu saya karena ia sangat cerewet kepada saya. Saya telah mengenakan jilbab, jadi saya tak bisa melepaskannya hanya karena mempertimbangkan perasaan ibu saya, karena kewajiban saya adalah kepada Allah, lalu baru kepada orang tua,” ungkapnya.

Sebagai awal, Jennifer memberitahu adiknya, Catherine, yang lima tahun lebih muda. Ia ingin melihat reaksi Catherine, yang mungkin akan sama dengan reaksi orang tuanya. Ia memanggil Catherine dan berkata, “Hey Catherine, saya melakukan sesuatu.”

Adiknya tak terkejut. Maklum, Jennifer memang biasa melakukan sesuatu di luar norma. “Apa yang kamu lakukan kali ini Jennifer?”

Jennifer mengatakan dirinya sedang mempertimbangkan masuk Islam, dan ia kini telah mengenakan jilbab. Catherine tertawa kencang. “Ia mengatakan kini saya benar-benar telah ‘melakukannya’ dan orang tua kami akan ‘membunuh’ saya. Ia juga mengatakan tak percaya saya kini salah satu dari teroris itu.”

Namun, Catherine segera menyambung kalimatnya, “Kamu kakak saya dan saya menyayangi kamu tak peduli apa agama yang kamu anut.” “Ia juga mengatakan  bahwa orang tua kami akan mengamuk,” ujar Jennifer. Tak berhenti di situ, Catherine lantas mengatakan “Jangan beri tahu ayah dan ibu tanpa saya ada di sana, jadi saya bisa mentertawakan kamu.” Jennifer tahu adiknya hanya bercanda.

Jennifer akhirnya memberanikan diri memberi tahu orangtuanya. “Ayah saya bisa menerimanya. Saya pikir kebanyakan pria akan bisa menerimanya jika hal itu berarti sang anak akan menutupi tubuhnya.”

Namun, ibunya sangat marah dan shock. “Dia terus meyakinkan saya bahwa saya salah langkah dan Islam bukan agama yang tepat. Satu yang yang paling memberatkannya adalah saya mengenakan jilbab.”

Butuh dua pekan bagi ibunya untuk kembali tenang. “Tak lama mereka ahirnya bisa menerima. Bagaimanapun, ibu saya terus mengatakan bahwa ini hanyalah sementara, sebuah tahapan, dan saya akan kembali tersadar,” ungkap Jennifer. Sepekan berselang, Jennifer akhirnya memutuskan untuk mengucap syahadat.

Hari itu, Jumat pertama Januari, Jennifer bangun pagi dengan perasaan membuncah. Ini dia hari H, hari dimana ia akan mengucap syahadat. Ia lalu mandi dan mengejar kereta untuk pergi ke masjid guna mengucap syahadat.

Di masjid, ia menemui imam dan mengatakan ingin mengucap syahadat. Sang imam menatapnya dengan senyuman dan mengatakan “Anda yakin, ini yang benar-benar Anda kehendaki?” Dengan semangat Jennifer menjawab “Ya, ya, ini keputusan saya.”

“Maka, di hari itu, seluruh saudara seiman, laki-laki dan perempuan, bergabung untuk menyaksikan saya masuk Islam,” kata Jennifer. “Hari itu, begitu banyak orang mengucap selamat dan mengatakan kepada saya jika saya membutuhkan apa pun, mereka akan membantu saya. Saya begitu beruntung. Di sini lah saya bersama keluarga baru, sebuah keluarga yang anggotanya berasal dari seluruh belahan bumi.”

“Pada Jumat malam itu saat saya tidur, malam pertama saya sebagai Muslim, saya mengalami mimpi terindah, sebuah karunia. Saya berada di sebuah lembah yang dipenuhi rerumputan hijau nan indah. Perbukitannya begitu indah, tak pernah saya lihat sepanjang hidup, dan saya berjalan di sana menuju seorang pria. Dia juga berjalan ke arah saya, dia mengenakan galabiya putih. Wajahnya samar, tak mirip wajah manusia yang sebenarnya, namun terang seperti matahari. Saya merasa begitu hangat dan aman. Dia memegang tangan saya dan kami berjalan bersama ke arah sebuah batu melingkar yang besar. Di batu itu ia duduk dan saya duduk di rumput. Ia kemudian mengatakan kepada saya ‘Selamat datang ke Islam’.”

Saat terbangun, Jennifer merasakan  perasaan yang begitu indah dalam hatinya. “Saya pikir inilah Rasul. Ia datang untuk menyambut saya masuk Islam. Saya kemudian mendapati bahwa itu bukan Nabi Muhammad, tapi salah satu malaikat Allah yang telah menyambut saya, karena malaikat tak memiliki wajah manusia, namun wajahnya samar (blur).”

Jennifer merasa sangat spesial sejak hari itu. “Sebuah malaikat, malaikat Allah datang untuk menyambut saya kepada agama Allah, agama saya. Agama yang begitu saya dambakan sejak kecil. Islam adalah agama yang sebenarnya.”

Jennifer Fayed kini menjadi penulis yang tingal di Carolina Utara, AS. Berbagai tulisannya telah menginspirasi banyak orang. Ia memiliki gelar di bisnis pemasaran, dan anggota aktif Muslimah Writers Alliance.

 

Sumber: http://www.republika.co.id

Chris Wayne Jackson: dari Kompetisi NBA ke Medan Dakwah

Leave a comment

Tanggal 12 Maret 1996, seakan menjadi sejarah kelam dalam karir Chris Wayne Jackson sebagai seorang pebasket profesional. Pada tanggal tersebut hampir lima belas tahun lalu, Jackson mendapat sanksi larangan bertanding dari NBA, Asosiasi Bola Basket Amerika Serikat. Hukuman ini dikenakan kepada Jackson karena ia tidak bersedia untuk berdiri ketika lagu kebangsaan Amerika Serikat, The Star Spangled Banner dinyanyikan sesaat sebelum pertandingan dimulai. Ketika itu ia memperkuat Denver Nuggets.

Saat itu Jackson beranggapan hal ini (berdiri, red) tidak pantas dilakukan, karena menurutnya bendera Amerika Serikat adalah simbol penindasan. Ia juga mengatakan bahwa Amerika Serikat sendiri mempunyai sejarah tirani yang panjang dan tidak sesuai dengan keyakinannya sebagai seorang muslim.

Sontak, tindakan Jackson yang dinilai kontroversial ini pun menuai protes dari publik Negeri Paman Sam yang berujung pada sanksi larangan bertanding dari NBA. Tapi hukuman skors tersebut hanya berlangsung satu pertandingan. Dua hari kemudian sanksi tersebut dicabut. NBA pun membuat kesepakatan dengan pebasket berdarah Afro-Amerika ini. Sesuai dengan isi kesepakatan tersebut, Jackson tetap harus berdiri pada saat lagu kebangsaan dinyanyikan, tetapi ia diperbolehkan untuk menundukkan kepala dan memejamkan matanya. Abdul-Rauf mengatakan pada saat seperti itu, ia memanjatkan doa.

Selang tiga belas tahun kemudian, dalam sebuah kesempatan saat tengah memberikan ceramah di sebuah masjid di Gulfport, Mississippi, dengan tegas Jackson mengungkapkan bahwa sikapnya tersebut adalah pengejewantahan dari agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari. ”Saya memanfaatkan kontroversi itu sebagai alat untuk menjelaskan pada orang lain tentang agama saya,” tukasnya.

Chris Wayne Jackson lahir di Gulfport pada tanggal 9 Maret 1969. Ia adalah pemain basket NBA di era 90-an. Di masa lalu, Jackson merupakan salah satu point guard paling jempolan. Ia lahir dan dibesarkan di tengah keluarga pemeluk Kristen. Ia mengganti namanya menjadi Mahmoud Abdul-Rauf pada saat ia pindah agama dan memeluk Islam pada tahun 1991.

Sebelum terjun ke NBA, Jackson memperkuat tim basket tempatnya berkuliah di Lousiana State University (LSU). Bersama tim basket kampusnya ini Jackson memiliki karir basket yang cemerlang. Hal ini pula lah yang kemudian mendorong Denver Nuggets, salah satu tim basket profesional NBA, merekrutnya pada tahun 1990. Sejak saat itu karirnya sebagai pemain basket profesional dimulai.

Abdul-Rauf bisa dikatakan sebagai pemain terbaik di klub bakset yang berbasis di Denver, Colorado ini. Ia memperkuat Denver Nuggets hingga musim kompetisi 1995-1996. Pada musim kompetisi 1992-1993, Abdul-Rauf menyabet gelar The Most Improved Player Award, sebuah penghargaan yang diberikan kepada pemain yang dianggap telah menunjukkan perkembangan yang lebih baik dari musim sebelumnya. Saat memperkuat Denver Nuggets ia juga pernah memimpin NBA dalam kategori persentase tembakan bebas (free-throw) terbaik dalam satu musim pada tahun 1994 dan 1996. Ia memiliki rekor 19.2 poin dan 6.8 assist per game pada musim 1995-1996.

Walau akhirnya hukuman larangan bermainnya tersebut dicabut dan hanya diganti dengan larangan bermain sebanyak satu kali pertandingan, tapi tak ayal ia kemudian menjadi pemain paling dibenci di AS. Karir basketnya di AS terancam. Terbukti, tak lama berselang setelah kontroversi lagu kebangsaan Amerika Serikat, Denver Nuggets pun mengakhiri kontraknya dengan Abdul-Rauf. Namun Abdul Rauf tak bergeming dengan keyakinan dan kebiasaannya tersebut.

Meninggalkan NBA

Setelah tidak lagi memperkuat Nuggets, ia sempat bermain untuk tim basket NBA lainnya, Sacramento Kings, sebelum akhirnya ia benar-benar meninggalkan ajang kompetisi bola basket profesional di Amerika Serikat ini. Ia memperkuat Sacramento hanya selama dua musim (1996 hingga 1998).

Selepas meninggalkan ajang kompetisi NBA, Abdul-Rauf melanglang buana dari satu klub ke klub basket lainnya. Ia pernah bermain untuk klub basket asal Turki, Fenerbahce selama satu musim (1998-1999). Setelah itu ia sempat vakum selama satu musim, baru kemudian ia bermain basket lagi bersama Vancouver Grizzlies, klub basket asal Kanada selama musim 2000-2001. Setelah kontraknya dengan Vancouver Grizzlies tidak diperpanjang, ia memilih untuk berhenti sejenak dari arena basket selama dua musim (2001-2003).

Pada tahun 2003 Abdul-Rauf mengikat kontrak dengan tim basket Rusia, Ural Great Perm, selama satu musim. Setelah itu kemudian ia berturut-turut bermain untuk klub basket asal Italia Sedima Roseto (2004-2005); klub basket Yunani Aris Thessaloniki (2006-2007); klub basket Arab Saudi Al-Ittihad (2008-2009); dan klub basket Jepang Kyoto Hannaryz (2009-2010).

Setelah malang melintang di berbagai ajang kompetisi basket dunia, Abdul-Rauf masih menyimpan keinginan untuk bisa kembali bermain di ajang kompetisi NBA. ”Mungkin saja saya dapat kembali tampil di Amerika Serikat. Pintu mungkin sudah tertutup tapi NBA tak hanya ada di kota dan saya ingin menggunakan talenta yang diberikan Tuhan meski saya hanya bermain di Timbuktu,” ujar Abdul Rauf seperti dikutip yahoosports awal April 2010.

 

Keputusannya untuk meninggalkan kompetisi basket NBA, membawa perubahan besar dalam diri Mahmoud Abdul-Rauf. Secara perlahan, ia mulai berkecimpung dalam kegiatan dakwah. Ia membangun sebuah masjid di kota kelahirannya di Gulfport, Mississippi. Bahkan ia pun menjadi imam di masjid tersebut.

Abdul-Rauf berharap, keberadaan bangunan masjid ini akan membawa dampak positif pada generasi muda di Gulfport yang dikenal sangat dekat dengan obat-obatan dan tindak kriminal. Ia pun kerap menyelenggarakan acara yang melibatkan kaum remaja di Gulfport. ”Ilmu pengetahuan bisa membuat seorang budak menjadi raja,” itulah nasehat yang kerap disampaikan Abdul-Rauf kepada para remaja muslim di lingkungannya.

Dalam setiap ceramahnya, ia juga berpesan pada generasi muda muslim ini untuk menegakkan Islam dimana pun mereka berada dan menuntut ilmu sebanyak mungkin. ”Kita senantiasa melihat pendidikan sebagai bekal untuk mencari kerja demi keamanan finansial. Tapi kita melupakan tujuan utama pendidikan yang seharusnya menjadi bekal bagi seseorang agar bisa bertahan dalam kehidupan,” ujarnya.

Ia membandingkan pendidikan Barat yang berbasis sekularisme, memisahkan antara negara dengan agama. Menurutnya, pendidikan dalam Islam harus mencakup segala aspek kehidupan. ”Umat Islam tidak bisa menyingkirkan agamanya ke dalam ‘kloset’,” kata Abdul-Rauf.

Abdul-Rauf juga menguraikan hasil studi yang dilakukan oleh para profesor di Universitas Harvard dan Universitas Yale. Hasil studi itu menunjukkan bahwa anak-anak Afrika memiliki bakat lebih cepat menangkap pelajaran. ”Sejarah membuktikan bahwa orang-orang Afrika dan Muslim adalah para penemu disiplin ilmu modern seperti aljabar dan berbagai ilmu pengetahuan lainnya,” tuturnya.

 

Sumber: http://www.republika.co.id

Older Entries Newer Entries