Di Depan Akademisi Cambridge, Mantan Pastor Itu Berkisah Kenapa Pilih Islam

Leave a comment

“Bukan saya yang mencari Islam, Islam yang menemukan saya,” kata Idris Tawfiq. Ia berbicara di depan akademisi dan keluarga besar universitas papan atas Inggris, Cambridge. Di perguruan tinggi ini tengah dihajat acara tahunan Experience Islam Week, acara untuk pengenalan Islam dan toleransi.

Ia mengaku, tak ada masalah dengan masa lalunya. “Saya mencintai pekerjaan dan masa lalu saya, namun hati saya seperti dipandu memilih Islam,” katanya. “Setelah menjadi Muslim, saya menemukan kedamaian yang tak pernah saya temukan sebelumnya.”

Menurutnya, keputusannya memilih Islam adalah keputusan terbesar dalam hidupnya. Ia masih melakukan pelayanan, ketika kemudian hatinya berbicara lain. Sampai suatu saat, timbul keberanian untuk menyatakan behenti dan mundur. “Saya merasa sendiri setelah itu,” katanya.

Pertama kali, ia menyatakan berhenti menjadi pastor. Namun, ia tetap memegang kayakinan lamanya, sambil terus belajar Islam. “Saya tidak bermaksud mengubah iman saya itu bukan bagian dari rencana saya sama sekali,” katanya.

Ia menyatakan, tinggal dan besar di Inggris selama 40 tahun, ia punya pandangan stereotip tentang Muslim. Tapi saat liburan di Mesir, ia bertemu dan berteman dengan banyak orang Muslim, dan mengatakan bahwa ia mulai menyadari persepsi tentang keyakinan Islam. “Keyakinan lama saya perlahan luntur, dan Islam menjadi lebih menarik perhatian saya,” katanya.

Menurutnya, ajaran Islam sebenarnya sangat indah. “tak benar Islam mengajarkan kekerasan. “Jika Anda menyelami ajaran Islam, Anda akan menemukan ajaran agama ini benar-benar sangat indah, sangat lembut, dan manis,” katanya.

Ia menyarankan satu hal bagi mereka yang tengah belajar Islam. “Sebelum Anda membuah keputusan, tarik nafas dalam-dalam dan dengarkan apa kata Islam. Kemudian, penahi pola pikir Anda,” katanya.

Saat ini, Tawfiq memutuskan untuk tinggal di Mesir. Ia mengaku tak gamang dengan perubahan politik di negeri itu. “Satu hal yang diajarkan Islam adalah, jangan pernah terkejut dengan apapun yang datang dalam kehidupan kita. Di Mesir, semua terbukti. Siapa yang menduga hanya dalam tiga pekan tiran yang 30 tahun lebih berkuasa bisa tumbang,” katanya.

 

Sumber: http://www.republika.co.id

Kisah Isa & Al Quran Menjadi Jembatan Abdulhadi Menuju Islam

Leave a comment

Abdulhadi, 23 tahun, dibesarkan dalam ajaran Katholik. Orangtuanya berdarah Polandia, negara di mana, menurut penuturannya, Katholik adalah agama utama dan ajarannya menjadi praktek hidup keseharian warganya.

“Saya diajari berdoa sejak kecil dan dibaptis dalam gereja,” tuturnya. “Saat itu sangat menyenangkan,” aku Abdulhadi.

Namun ketika menginjak masa remaja, ia merasa agama tak ada lagi berarti. “Nol, saya juga meragukan semua eksistensi,” ungkap Abdulhadi.

Ia gelisah. Banyak pertanyaan muncul di benaknya, seperti dari mana ia berasal dan mengapa ia hidup. “Tapi saya tidak menemukan jawaban.” ujarnya.

Saat pencarian itu ia mengaku mengalami kondisi sulit yang ia analogikan sebagai tamparan keras. “Tiga hingga empat kali saya ditampar dan itu sangat menyakitkan,” tuturnya tanpa mau menceritakan detail kisah sulitnya.

Saat kian gelisah ia bertemu seorang teman. Temannya bergama Islam. “Ia tak mengatakan apa-apa pada saya, hanya mengajak saya untuk menjauhi keburukan,” ungkapnya.

Ajakan itu ia pandang masuk akal. Saat mulai hidup teratur ia kembali tenang, ketika itu pulalah Abdulhadi mengingat Tuhan lagi.

Selama ini ia selalu menyimpan sebuah injil di rak buku. Mengetahui itu teman Muslimnya tadi berkata, “Kalau kamu punya injil seharusnya kamu punya Al Qur’an pula.”

Terganggu dengan ucapan itu Abdulhadi pun terdorong untuk mempelajari injil yang ia miliki. “Terus terang saya berkata pada diri sendiri bahwa kalau saya harusnya menyelidiki dan mempelajari agama saya dulu pertama kali,” ungkapnya.

Ketika ia selesai membaca injil ia pun mulai membandingkan kitab tersebut dengan Al Qur’an. Dalam proses itu ia menemukan Jesus sebagai jembatan, karena ternyata Jesus pun disebut dalam kitab suci Agama Islam itu, sebagai Isa.

“Itulah yang mendorong saya untuk tahu lebih lanjut,” ujarnya. Abdulhadi pun mulai membaca setiap kalimat dalam Al Qur’an.

Saat membaca ia merasa heran sekaligus takjub. “Buku ini luar biasa saya sungguh tidak menemukan keraguan terhadap satu pun kalimat di dalamnya,” ujarnya.

“Ketika kita membaca buku lain, filsafat, saya masih menemukan ada sesuatu yang meragukan, tapi tidak di Al Qur’an” kata Abdulhadi. “Ini sungguh kitab kebenaran.”

Saat timbul pemikiran itu ia pun membisikkan harapan ke dalam benaknya ingin menjadi seorang Muslim. “Benar-benar karena membaca Al Qur’an tak ada penyebab utama lain, namun keinginan hati saya begitu kuat untuk memeluk Islam.”

Abdulhadi memeluk Islam pada 2005 lalu. Ia mengaku telah menjalani Ramadhannya yang ke-7.

“Saya kira setiap orang harus mempelajari benar-benar agama yang mereka anut,” ujarnya. Ucapan Abdulhadi mengacu pada teman-teman Muslim lain yang ia jumpai banyak pula yang tak melaksankan ajaran dan beribadah sesuai perintah agama.

“Ini mengingatkan saya ketika remaja dulu. Sebagai pemeluk Katholik saya pun tak jarang beribadah.” ujarnya.

Abdulhadi memandang setiap orang pada intinya memiliki kecenderunga jiwa yang sama, baik ia menganut Hindu, Budha atau agama Nasrani. “Mereka pasti memiliki pertanyaan mendasar, mengapa kita diciptakan di muka bumi,” kata Abdulhadi.

“Resepnya sederhana saja, carilah dan mulailah dari keyakinan yang kita peluk. Pada akhirnya perilaku kita pun akan berubah,’ ujarnya.

Ia juga menekankan bagi mereka yang mencoba mencari jawaban dalam hidup agar tidak menutup diri dari mempelajari keyakinan lain.

“Seperti yang telah saya lakukan. Siapa yang mencari pasti akan menemukan jawabannya. Nanti kita akan dituntun untuk menemukan bahwa Islam adalah agama yang mampu menjawab semua pertanyaan.”  ujarnya penuh keyakinan.

 

Sumber: http://www.republika.co.id

Mualaf Bilal Philips, Mantan “Dewa Gitar” yang Kini Menyerukan Islam

Leave a comment

Dulu, Bilal Philips pernah dijuluki “Dewa Gitar” di negerinya, Kanada.  Kini, ia justru menyerukan agar kaum Muslim sesedikit mungkin mendengarkan petikan gitar, karena “terlalu banyak musik akan menutup hati dari seruan Allah.”

Philips menyatakan, larangan itu bukan hanya untuk gitar, tapi semua aliran musik. “Hati yang diisi dengan musik tidak akan memiliki ruang untuk kata-kata Tuhan,” tulisnya dalam bukunya,  Contemporary Issues. Buku ini membahas persoalan-persoalan aktual umat islam, mulai dari perkawinan anak di bawah umur, pemukulan istri, poligami, dan membunuh kaum murtad, hingga homoseksualitas.

Philips berpendapat, Islam tidak melarang semua musik. Namun, musik yang dianjurkan adalah yang dinyanyikan kaum pria dan anak perempuan belum dewasa. Lagu-lagunya pun berisi konten yang dapat diterima umum. “Instrumen senar sebaiknya dihindari,” ia melanjutkan.

Philips adalah imigran asal Jamaika. Masuk ke Kanada di usia 11 tahun, ia mengambil pendidikan gitar. Ia bermain di klub malam selama belajar di Universitas Simon Fraser di British Columbia.  Namanya makin terdongkrak setelah itu.

Di puncak kepopulerannya, jiwanya gelisah. Ia memutuskan mengasingkan diri dari hiruk-pikuk musik negerinya dan menyusul sang ayah yang juga tenaga ahli di Canadian Colombo Plan berpindah ke Malaysia, menjadi penasihat menteri pendidikan. Di negeri jiran itu, ia dikenal sebagai “Jimi Hendrix dari Sabah”.

Tapi setelah memeluk Islam pada tahun 1972, ia meletakkan gitarnya untuk selamanya. Dalam biografi di situs web ia mengatakan, “ketika saya menjadi seorang Muslim, saya merasa tidak nyaman melakukan hal ini dan menyerah baik secara profesional maupun pribadi.”Bagi banyak orang, musik menjadi sumber hiburan dan harapan dari Allah. Musik membawa mereka untuk sementara, seperti obat. “Quran, kata-kata Allah yang penuh dengan bimbingan, juga bisa memainkan peran itu.”

 

***

Dalam bukunya, ia juga mengatakan wanita dewasa dilarang untuk bernyanyi. “Pria lebih mudah terangsang daripada perempuan sebagai telah sepenuhnya didokumentasikan oleh studi klinis Masters dan Johnson. ”

Tetapi Institut Islam Toronto mengatakan pada situs webnya yang banyak sarjana tidak setuju dengan penafsiran itu, dan mempertimbangkan musik diperbolehkan asalkan tidak mengandung “sensual, menduakan Tuhan, atau tema tidak etis dan pesan subliminal.

“Jadi untuk mengatakan bahwa semua musik dilarang dalam Islam tampaknya tidak tepat. Islam menempatkan kehidupan dunia dan akhirat secara seimbang,” tulis situs ini.

Sohail Raza, juru bicara Kongres Muslim Kanada, mengatakan klaim bahwa Islam tidak mengijinkan musik adalah “benar-benar tak berdasar” dan benar-benar merupakan upaya untuk mencegah imigran Muslim dari integrasi ke dalam masyarakat Kanada.

“Ini adalah orang-orang yang memiliki keengganan untuk sukacita,” kata Raza. “Kami memiliki situasi yang sangat menyedihkan dimana orang-orang seperti Philips yang membawa hal-hal dalam Islam yang benar-benar tidak benar, dan menumbuhsuburkan Islamophobia.”

Philips, yang memiliki gelar dari Universitas Islam Madinah dan Universitas Riyadh, dan mendirikan Universitas Islam Online, tinggal di Qatar tapi tetap menjadi pembicara konferensi yang populer di Kanada. Dia memberikan kuliah tentang “musik dan kencan” di sebuah masjid Toronto April lalu.

Dalam video online-nya, mantan musisi panggilan musik kecanduan jahat. “Intinya adalah bahwa jika musik itu bermanfaat, maka musisi akan menunjukkan manfaat yang dalam hidup mereka,” katanya dalam sebuah video YouTube.

“Apa yang Anda lihat justru adalah bahwa beberapa elemen yang paling korup masyarakat yang ditemukan di antara para musisi. Obat-obatan, penyimpangan dan homoseksualitas, hal ini jenis dan semua korupsi yang ada di sana, orang bunuh diri, “katanya. “Kenyataannya adalah bahwa hal itu sebenarnya tidak membawa sisi, jahat gelap yang memproduksi jenis korupsi antara mereka sendiri dan, pada akhirnya, berakhir sampai merusak elemen masyarakat.”

 

Sumber: http://www.republika.co.id

Melihat Ketaatan Sahabat Muslimnya, Silvia Pun Terpikat dengan Islam

Leave a comment

Silvia Lenteri, demikian kedua orang tuanya memberikan nama. Gadis keturunan Betawi-China ini terlahir dalam keluarga penganut Budha. Saat Silvia masih kecil, ibunya telah dipanggil Sang Pencipta.  Sejak itu Silvia diasuh sementara oleh salah satu tantenya yang sudah menikah dengan seorang Muslim. Si tante juga memutuskan masuk islam.

Selama duduk di bangku sekolah dasar (SD) Silvia yang masih dalam pengasuhan tantenya dimasukkan ke Sekolah Dasar Negeri Cipayung 03 Pagi. Di sekolah umum itu hanya ada dua pilihan mata pelajaran agama, Islam dan Kristen.

“Sewaktu SD tidak ada pelajaran agama Budha, katanya. “Karena tante saya seorang Muslim, maka saya pun diminta untuk mengikuti mata pelajaran Agama Islam,” tutur Silvia

Selama enam tahun mau tak mau Silvia musti mengikuti pelajaran Agama Islam. Namun saat itu Silvia menganggapnya sekedar mata pelajaran biasa. Setelah lulus sekolah dasar dan melanjutkan ke bangku SMP, ia tetap pengikut Budha.

Silvia masuk ke salah satu SMP unggulan di Jakarta Timur. Ternyata di SMP, untuk mendapat nilai pelajaran agama ia harus mengikuti ujian bersama di salah satu wihara. “Saya meminta nilai dari panitia penyelenggara untuk diberikan kepada sekolah,” tutur remaja 20 tahun ini.

Namun, tak setiap saat, kata Silvia, wihara membuka kelas untuk ujian. Alhasil ia mengaku kerap memanipulasi nilainya. Caranya? “Orang yang berada di Wihara  meminta saya menyebutkan angka yang saya mau untuk nilai Agama Budha, tanpa ujian,” ungkap Silvia.

Situasi itu terus berlanjut, bahkan hinnga Silvia lulus dari bangku SMA. Begitu masuk perguruan tinggi, segala sesuatunya berbeda.

Di kampus ia mulai sering berinteraksi dengan banyak teman Muslim sebab mayoritas mahasiswa memang beragama Islam. Dari sanalah, hampir tiap hari ia mendengar kisah-kisah nabi zaman dahulu, kisah yang menurut dia menginspirasi dan luar biasa.

Saat berinteraksi, Silvia juga terkesan menyaksikan ketekunan teman-teman Muslimnya “Sahabat- sahabat saya di kampus semua beragama Islam dan sangat taat terhadap ajaran agama yang mereka anut. Itu yang membuat saya kagum dengan ke-Islaman mereka,” kata Silvia.

Silvia mulai berdiskusi dan berbagi cerita dengan teman-teman Muslimnya dan timbulah rasa penasaran dalam benaknya terhadap Islam.

“Ayah saya jarang pergi beribadah ke wihara, hanya sesekali ia berdoa dengan membakar hio
(dupa) dirumah kami,” tuturnya Silvia. “Berbeda dengan teman-teman Muslim saya, ketika mendengar kumandang adhzan mereka bergegas untuk beribadah” ujarnya.

Silvia banyak bertanya tentang ajaran-ajaran Islam kepada teman-temannya. “Mereka sangat terbuka ketika menjawab,” ujar sulung dari tiga bersaudara ini.

Padahal sebelumnya, ia mengaku tak pernah terlintas sedikitpun keinginan untuk mempelajari Islam lebih dalam.  Hati Silvia terbuka. Ia menemukan kebesaran Allah dan kebenaran ajaran agama Islam. Saat membandingkan dengan ajaran keyakinan lain, Silvia menilai ajaran Islamlah yang paling benar.

Pernyataan seorang teman bahwa dalam Agama Islam dilarang menyembah patung, karena patung tak bisa berbuat apa-apa, menyentuh kesadarannya bahwa Allah-lah yang Maha segalanya.

“Saya merasa pernyataan itu sangat benar. Tuhan itu tidak berwujud dan tidak dapat dilihat. Bodoh sekali orang yang berhari-hari menyembah patung yang jelas-jelas tidak dapat melakukan apa pun untuk mereka.” ujar Silvia.

Akhirnya, pada penghujung 2010, ia memutuskan memeluk Islam. Bagi Silvia itu adalah hidayah terbesar dalam hidupnya. Hanya disaksikan kedua sahabatnya, ia mengikrarkan dua kalimat syahadat di salah satu masjid kawasan Cijantung.

Beruntung sekali orang tua Silvia sangat demokratis. Ia diberi kebebasan penuh untuk memilih jalan hidupnya dan dianggap sudah dewasa untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatanya.

Silvia lega tak menemui halangan berarti untuk terus mempelajari agama barunya. “Alhamdulilah keluarga saya menghargai keputusan ini, jadi saya tidak perlu sembunyi- sembunyi menjalankan shalat dan membaca Al Qur’an di rumah,” ungkapnya.

Namun sang adik menentang keinginan Silvia untuk mengenakan kerudung. “Menurut dia itu akan sangat mempermalukan kedua orang tua kami jika keluarga atau temannya melihat bahwa saya telah menjadi seorang muslim” tutur mahasiswa semester 6 itu. Ia pun memilih menahan diri.

Setelah memutuskan memeluk Islam, Silvia mulai belajar bacaan shalat dan menjalankan perintah Allah. Kini setiap hari ia membaca Al Qur’an beserta artinya.

Usai memeluk Islam, dilema pun tak luput ia alami. Rupanya Silvia sempat kesulitan menjauh dari keempat ekor anjir peliharanya. “Saya sangat sayang dengan mereka, tapi dalam Islam dilarang jadi saya harus membiasakan diri.”

Ia berteguh hati karena termotivasi keinginannya yang besar untuk terus memperdalam ilmu agamanya. “Ke depan, Insya Allah saya akan mengenakan kerudung dan saya ingin sekali mendapat bimbingan dari seseorang yang benar-benar paham tentang Islam,” kata Silvia.

Hingga kini Silvia mengaku hanya mempelajari Islam dari teman-teman kuliahnya. “Menurut saya itu masih kurang. Saya dan teman-teman saya juga masih perlu orang yang benar-benar kompeten dalam hal keagamaan.” tegasnya.

Sumber: http://www.republika.co.id

Awalnya, Islam yang Ia Tahu Hanyalah Seputar Arab

Leave a comment

Pada tahun 1990-an, John Clenn Howel, pindah dari rumahnya di area terpencil Ohio ke kota terbesar ketiga di Amerika, Chicago, Illinois. Di sana ia membangun hubungan dengan orang-orang yang ia kenal lewat acara musik underground di mana ia terlibat pula. Howell tinggal di Chicago selama lima tahun, masa yang akan mengubah seluruh hidupnya.

Lingkungan tempat ia tinggal ia luar biasa beragam dengan imigran mendominasi. Ia menganggap orang-orang disekitarnya sangat menarik. “Orang asing justru mayoritas dan saya adalah minoritas,” tulisnya dalam file catatan di akun Facebooknya.

Di sini ia memahami, bahwa bergaul dengan orang Serbia, Kroasia, Albania, Ukrania, Gipsi, Yahudi Hasidik, Khaldea, Suriah, Armenia, Rusia, Yunani, Pakistan, Afghanistan, India, Tibet dan sebagianya, adalah wajar. Namun bila bersentuhan dengan orang-orang nomaden berambut gimbal yang menggembala domba dari Asia Barat, atau pria Muslim tua dengan janggut dan turban, bukan hal normal.

Howell juga menyaksikan sejumlah wanita berpakaian ‘misterius’, membungkus tubuhnya dari atas hingga kaki dengan gaun hitam. Ia juga mendengar orang-orang berbicara dalam bahasa campuran. “Semua itu saya alami tepat di tengah situasi ultra-urban kota Chicago,” ungkapnya. Bagi seseorang yang datang dari kawasan pedalaman terpencil, konstalasi masyarakat macam itu sangat memikatnya

Ketika mulai berteman dengan beragam identitas di lingkunganya, kesadarannya juga mulai mengalami perubahan besar. “Banyak tetangga saya ternyata adalah Muslim. Begitu stereotip buruk yang pernah saya terima muncul dalam ingatan, saya menyadari, betapa semua itu salah, tak bisa dipercaya dan sekedar propaganda,” ujarnya.

Sebelum ke Chicago, Howell rupanya tidak pernah melakukan kontak sama sekali dengan Muslim di Ohio. Ia pun terdorong untuk memahami siapa sebenarnya mereka. “Itu saya lakukan demi menerobos batasan prasangka sosial yang saya usung selama ini dalam budaya Amerika,” kata Howell.

Teman Muslim pertamanya adalah seorang pria Afghanistan, bernama Sami berprofesi sebagai sopir taksi. Ia berusia sebaya Howell dan tinggal di sebelahnya persis. “Saya ingat pertama kali pergi brsamanya dan kami berkendara berkeliling di sekitar, saat itu saya berpikir, ‘kamu harus berhati-hati, orang ini adalah Muslim dan tidakkah kamu selalu diberitahu bahwa orang-orang Muslim itu berbahaya dan mungkin akan menggorok lehermu demi mencuri apa pun dalam kantongmu?’

Betapa jahatnya itu! “Tapi itulah yang diajarkan oleh masyarakat dan budaya saya. Beruntung, saya tidak memedulikan omong kosong itu dan saya gembira saya tak terkontaminasi dengan itu,” ujarnya. Sebaliknya, ia menilai Sami adalah pria lucu yang menceritakan kisah terbaik dari pengalaman hidupnya. “Saya akhirnya dekat dengannya dan seluruh keluarganya, sungguh pengalaman yang memperkaya hidup.”

Berpikir mundur kembali ke tahun-tahun sekolah dasar, Howell masih mengingat jelas sebuah pernyataan dari gurunya yang berkata, “Islam adalah agama pedang, dan siapa pun yang  hidup dengan pedang akan mati dengan pedang.”

“Kini setelah hampir sepuluh tahun menjadi Muslim, saya tidak pernah sekali pun mendengar hal macam itu dalam Islam,” ujarnya. Howell mengaku kini menyadari betul bagaimana pengondisian anti-Islam telah dimulai sejak masa kanak-kanak.

Dalam sekolah dasar ia juga mendapat tontonan film-film anti-Islam, seperti “El Cid” yang menggambarkan Muslim sebagai manusia jahat. Saat tumbuh besar, Howell kerap mendengar teman-teman sekolahnya menggunakan julukan seperti ‘kepala handuk’, ‘negro pasir’, ‘penunggang unta’ untuk menyebut Muslim.

Beberapa guru sekolah bahkan mengklaim bahwa Muslim adalah ‘orang yang kehitam-hitaman’. Ia mengaku beruntung keluarganya bukan pengolok, melainkan tipe yang menghormati dan menghargai orang lain. “Itulah yang menanamkan nilai-nilai dan etika moral seimbang dalam diri saya,” tutur Howell.

Timbul pertanyaan serius pada Howell, “Bagaimana mungkin budaya masyarakat Ameika begitu dungu dan penuh prasangka terhadap Islam. Ini adalah agama tua dari Timur Tengah, tapi ironisnya masyarakat saya sendiri juga mempraktekkan agama dari Timur Tenggah (Kristen) dan mereka juga berbagi nabi yang sama.”

“Saya jadi ingin tahu apa itu Muslim dan agama mereka, Islam,” ujarnya. Howell mulai mencari jawaban atas banyak pertanyaan di dalam kepalanya. “Saya bukan hanya bertanya pada para Krisitiani. Saya juga mulai bertanya langsung pada Muslim,” tutur Howell. Dari sanalah ia belajar dan menjumpai bahwa Islam sungguh diluar yang ia sangka.

“Saya memahami bahwa Muslim berasal dari mana pun dan dari setiap ras. Ini sangat bertentangan dengan semua catatan perihal Muslim yang seolah-olah berkutat pada ras Arab,” kata Howell. Fakta yang ia pelajari, Arab justru minoritas di kalangan Muslim. Ketika menengok sekitar, ia menemukan Muslim beraneka ragam. “Saja jumpai Muslim Cina, Filipina, Rusia, India, Turki, Persia, Latin, Afrika, Eropa dan juga Amerika berada di sekeliling saya.”

Sumber: http://www.republika.co.id

Older Entries